Wednesday, 17 February 2016

Bagaimana Kondisi Konstruksi Pipeline di Indonesia?

Di perairan Indonesia terdapat sekitar 530 buah anjungan migas lepas pantai, sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Sebagian besar anjungan-anjungan ini telah berumur antara 20-40 tahun. Mengingat hal tersebut beberapa anjungan telah menimbulkan masalah baik yang berhubungan dengan kondisi struktur anjungan maupun dengan posisi keberadaan anjungan tersebut di laut, terutama anjungan yang sudah tidak beroperasi. Sarana infrastruktur migas lainnya adalah jaringan pipa bawah laut yang berupa jaringan pipa transmisi dan distribusi gas serta jaringan pipa hulu. Pada beberapa tempat aturan tentang penggelaran pipa dan acuan standar untuk penggelaran pipa migas bawah laut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, sehingga timbul beberapa permasalahan secara teknis dan lebih jauh menimbulkan konflik kepentingan dengan sektor lain. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan jaringan pipa ini dengan cara melakukan pengawasan/ inspeksi secara periodik dan berkala.

Tujuan penelitian adalah menginventarisasi keberadaan pipa migas bawah laut dan anjungan migas lepas pantai, mengkaji permasalahan yang ditimbulkan, selanjutnya mengusulkan pengelolaannya baik yang masih beroperasi maupun tidak, dengan sasaran masukan data teknis yang berkaitan dengan permasalahan keberadaan infrastruktur migas di laut dan memberikan bahan evaluasi terhadap pelaksanaan peraturan perundangan yang telah ada yang berkaitan dengan keberadaan infrastruktur migas di laut.

Lokasi kajian dititikberatkan pada wilayah perairan yang mempunyai infrastruktur migas bawah laut, seperti anjungan migas lepas pantai dan jalur pipa penyalur minyak dan gas bumi. Wilayah tersebut meliputi perairan sekitar pantai utara Jawa, perairan utara Madura dan Selat Madura, perairan sebelah timur Kalimantan Timur, perairan Kepulauan Riau dan perairan sekitar Pulau Natuna. Berdasarkan hasil identifikasi data dan hasil pengecekan lapangan, sebagian besar lokasi anjungan migas di wilayah perairan Indonesia berada pada kedalaman laut antara 10-100 m, hanya beberapa buah anjungan yang terdapat di perairan yang kedalamannya lebih dari 100 m, yaitu anjungan migas di perairan sebelah timur Kalimantan Timur (kedalaman antara 400-1000 m) dan anjungan migas di sebelah timur-selatan P. Kangean (150-200 m).

Dari 530 buah anjungan yang ada di perairan Indonesia sebanyak 70 buah anjungan sudah tidak beroperasi. Anjungan-anjungan ini sebagian besar dibangun antara tahun 1970-1990 dan sebanyak 60 buah anjungan tersebar di Laut Jawa.

Sebaran sumur pemboran dan anjungan migas yang sudah tidak
beroperasi di Laut Jawa (sumber : PPPGL, 2010)

Beberapa permasalahan yang terjadi pada anjungan migas lepas pantai di wilayah perairan Indonesia, baik yang masih beroperasi maupun yang sudah tidak beroperasi, di antaranya adalah adanya penurunan stuktur anjungan terhadap level muka air laut yang disebabkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) disekitar anjungan, terjadinya penurunan kualitas struktur anjungan akibat adanya korosi dan marine growth, dan beberapa anjungan migas posisinya terletak pada jalur pelayaran dan daerah tangkapan ikan.

Khusus untuk anjungan yang tidak beroperasi berdasarkan PP No. 35 Tahun 2004 pasal 78 ayat 1 dan perjanjian dalam Production Sharing Contract (PSC) tahun 1976 – 1988 keberadaan anjungan ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membongkar atau memanfaatkannya untuk fungsi lain. Mengingat biaya pembongkaran suatu anjungan migas lepas pantai sangat mahal mencapai 1.5 Juta Dolar Amerika per anjungan dan sangat memberatkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), maka usulan untuk memanfaatkan anjungan tidak beroperasi untuk kepentingan lain merupakan solusi yang sangat memungkinkan dan diatur dalam Permen ESDM No. 35 Tahun 2006, pasal 17 dan pasal 18. Pasal-pasal tersebut menyatakan bahwa Menteri ESDM dapat mengajukan usulan penghapusan barang operasi (termasuk anjungan migas lepas pantai) untuk dapat dimanfaatkan, dipindahkan, atau dimusnahkan atas persetujuan dari Menteri Keuangan. Untuk dapat memanfaatkan anjungan migas untuk fungsi lain harus dilakukan penelitian secara lengkap, baik yang menyangkut masalah teknis, aturan standar, lingkungan, maupun perundang-undangan yang berlaku.

Rencana jaringan pipa baru yang akan dibangun meliputi jaringan pipa Natuna - Kalimantan, Jawa - Kalimantan, Jawa Barat - Jawa Timur, dan jaringan Sumatera - Jawa.

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap infrastruktur pipa migas di dasar laut pada setiap zona perairan diajukan beberapa usulan untuk pengelolaan jaringan pipa migas di dasar laut, di antaranya adalah melakukan pemeriksaan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa transmisi, distribusi dan pipa hulu yang terdapat di dasar laut terutama pada lokasi-lokasi yang potensial untuk terjadinya kegagalan struktur pipa, jalur pipa yang melewati lokasi tempat labuh kapal, jalur pipa yang melewati lokasi penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang dan jalur pipa yang melewati lokasi-lokasi di alur pelayaran yang padat dengan menggunakan beberapa metode geofisika, seperti Remotely Operated Vehicle (ROV), Side Scan Sonar (SSS), Multibeam Echosounder, dan Geomagnetik Laut.

Pemeriksaan dilakukan secara periodik dan berkala pada jaringan pipa untuk mendeteksi adanya korosi, kebocoran pipa, pipa retak dan marine growth dengan menggunakanRemotely Operated Vehicle (ROV). Pemendaman dilakukan pada pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut kurang dari 13 m. Sedangkan pipa yang digelar secara terbuka di dasar laut pada kedalaman laut lebih dari 13 m harus dilengkapi dengan pemberat, hal ini untuk menjaga kestabilan pipa di dasar laut dan mencegah terjadinya kegagalan struktur pada sistem perpipaan. Memberi bangunan pendukung (concrete) pada pipa yang terindikasi mengalami kondisi bentangan bebas (freespan), sesuai dengan standar DNV-RP-F105. Penimbunan dilakukan pada lokasi perpotongan (crossing) antar pipa bawah laut atau dengan kabel bawah laut agar tidak terjadi kondisi freespan. Memberibuckle arrestor pada pipa yang mengalami buckling atau pemipihan atau pembengkokan sesuai dengan standar DNV OS F101-2000 untuk kondisi local buckling dan DNV RP-F110 untuk kondisi global buckling.


Disadur dari:

No comments:

Post a Comment